INDONESIA – Perjalanan panjang penuh kreativitas membawa Sanggar Seni Simpor bertahan sampai usia 30 tahun. Kini, tantangan zaman membawa sanggar tari ini beradaptasi tak hanya sebagai ruang belajar tari, tapi juga ruang untuk membuat kostum-kostum tari yang sesuai akar budaya Singkawang.
Ini bentuk nyata kecintaan terhadap subsektor ekonomi kreatif seperti seni pertunjukan dan fesyen di Kalimantan Barat. Semangat mempertebal nilai akar budaya melalui kegiatan seni begitu terasa pada pembukaan Festival Cap Go Meh 2025 di Singkawang.
Acara yang dihadiri Wakil Presiden RI tersebut mempertunjukan konsep tarian nusantara yang representasikan toleransi yang ada di Kota Singkawang. Sanggar Seni Simpor juga diminta tampil dalam rangkaian acara penutupan Imlek dengan konsep pertunjukan tari yang menceritakan kerajaan.
Pemilik Sanggar Seni Simpor, Anwar Razali mengatakan bahwa misi dari Sanggar Seni Simpor yaitu memperkenalkan seni dan budaya yang ada di Kota Singkawang.
“Sanggar Seni Simpor punya ciri khas aneka ragam seni budaya yang harus dipelajari. Hal ini sesuai dengan Kota Singkawang yang punya 17 paguyuban etnisnya dan didominasi etnis Dayak, Tionghoa, dan Melayu,” ujar Anwar Razali yang kerap disapa Bang Way.
Beruntunglah, Sanggar Seni Simpor punya pemilik sanggar yang sering diminta menjadi pelatih tari dan koreografer acara-acara tertentu. Bersama dengan para penari dari segala usia, Sanggar tari ini selalu menjadi bagian sebagai pengisi acara.
“Sanggar Seni Simpor mendidik dari anak SD sampai orang yang masih kuliah. Meski tak ada latihan rutin, tapi saya membuat kegiatan latihan tetap ke sekolah atau kampus saat Jumat, Sabtu, dan Minggu. Alhamdulillah, Sanggar Seni Simpor masih dipercaya untuk jadi pengisi acara dalam kegiatan-kegiatan Pemerintah, sekolah, kampus, atau diluar daerah sekalipun,” ungkap Bang Way.
Kunci keberhasilan Sanggar Seni Simpor terletak pada motivasi para penari yang bergabung untuk kenal lebih dekat dengan budaya kota Singkawang. Ada pembelajaran yang begitu penting sehingga sanggar seni ini ibarat pondasi bagi mereka yang memilih jalur berkarya lewat jalan seni.
Demi membuktikan kesungguhan hadapi tantangan zaman, selama 10 tahun terakhir Sanggar Seni Simpor beradaptasi menciptakan tarian-tarian yang tak sekadar bertahan pada tradisi saja.
“Sanggar Seni Simpor biasanya hampir mencakup semua tarian untuk dipertunjukkan. Ada sisi kontemporer, pola tari tradisi, sampai tari kreasi seperti modern dance.
“Memang kami lebih sering diminta untuk tari kreasi yang berpola tradisi, tapi tidak menutup kemungkinan hanya fokus pada satu bentuk penyajian saja. Sanggar seni ini ibarat periuk untuk makan, kalau kita terus punya konsep tarian yang berkembang tentu bisa dapat income yang lebih besar,” ungkapnya.
Perjalanan lebih dari seperempat abad Sanggar Seni Simpor tak hanya berhenti sampai situ. Mereka yang tergabung didalamnya juga terus ditempa untuk menampilkan sisi kreatif lain, terutama saat harus mempersiapkan kostum untuk mewarnai panggung seni pertunjukan.
“Alhamdulillah, Sanggar Seni Simpor punya jasa penyewaan baju sendiri. Kami punya penata kostum atau busana yang mana setiap baju yang akan dipakai harus sesuai dengan fungsi atau isi cerita tari. Inilah yang menjadi ciri khas dari Sanggar Seni Simpor dibanding sanggar seni lain yang ada,” jelas Bang Way.
Sepanjang perjalanan karier Bang Way, Ia sangat senang dengan semua pengalaman menarinya dan telah melahirkan sejumlah seni pertunjukan yang menarik bersama Sanggar Seni Simpor.
“Jujur prestasi saya yang pernah diikuti yaitu saat parade tari di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saya dapat juara tiga dan mewakili Kalimantan Barat membawakan tarian dayak. Dari situ, kami juga pernah diminta gelar pentas bertajuk ‘Semalam Bersama Singkawang’ tahun 2012 dalam rangka HUT TMII,” kenangnya.
Perubahan semakin terasa mengingat Sanggar Seni Simpor dipercaya untuk berangkat dan tampil ke Malaysia, Brunei, Taipei, sampai Taiwan.
“Orang Taiwan pernah datang ke Sanggar Seni Simpor dan ingin belajar tari. Belum puas berada disini, kami malah diundang ke Taiwan untuk melatih sekaligus menghibur di panti jompo dan taman-taman yang ada di sana. Undangan menari tersebut datang dari Taiwan International Family Association (TIFA) sekitar tahun 2017,” ujar Bang Way dengan raut wajah bahagia.
Respon positif yang luar biasa sayangnya masih temui kendala. Sanggar Seni Simpor yang sudah banyak tawaran manggung justru harus mendapat penghasilan yang tak seberapa. Belum lagi sekarang, Sanggar Seni Simpor tak punya ruang untuk berlatih yang menampung lebih banyak penari-penari baru.
“Tantangan terbesar yang kami hadapi yaitu terkait tempat atau ruang latihan. Kami pernah dapat hibah sebuah tempat latihan yang terbuat dari kayu, tapi semua sudah mulai rapuh. Kami ingin ada gedung kesenian buat latihan di Singkawang. Apalagi kami kadang diminta untuk mempersiapkan 100 penari. Maka, kami butuh panggung dan lahan yang lebih besar sekaligus dilengkapi sound system memadai untuk berlatih dan menyusun komposisi serta koreografi tariannya,” ungkap Bang Way sambil menitikkan air mata.
Tantangan demi tantangan terus dihadapi seiring proses berkesenian yang terus berkembang.
“Harapan saya untuk seniman dari subsektor seni pertunjukan supaya jangan pernah putus berkarya. Bagus atau tidaknya itu relatif karena seni selalu dilihat dari sisi subjektif,” katanya.
Sementara itu, Bang Way juga menaruh harapan besar terhadap Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif yang baru terbentuk.
“Semoga Kementerian Ekraf/Badan Ekraf lebih banyak mempromosikan seniman-seniman yang sering berkarya tanpa putus. Kami berharap Sanggar Seni Simpor juga bisa diperhatikan karena kami memulai segalanya atas usaha sendiri atau dari nol,” ujar koreografer tari yang kini berusia 52 tahun itu.*(sumber:ekraf.go.id)