Bogor, 2 November 2025 – Subsektor fesyen menjadi penyumbang terbesar ekspor ekonomi kreatif Indonesia dengan nilai mencapai sekitar 7 juta dolar AS pada 2025. Guna meningkatkan daya saing globalnya, Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Ekraf) mendorong puluhan jenama lokal untuk memperkuat identitas merek (brand DNA) dan melindunginya melalui Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
“Identitas dan ciri khas membuat sebuah produk menjadi unik dan berbeda dari pesaingnya. Namun, tanpa perlindungan HAKI, potensi plagiasi menjadi besar, sehingga peluang pasar produk pun dapat menurun,” ujar Direktur Fesyen Romi Astuti pada pelaksanaan hari kedua Bootcamp 1 Inkubasi Fesyen Jabodetabek, di Bogor, Jawa Barat, Minggu, 2 November 2025.
Bootcamp 1 Inkubasi Fesyen Jabodetabek digelar Kementerian Ekraf/Badan Ekraf untuk pendampingan pengembangan identitas merek dan peningkatan kesiapan produk menuju pasar global.
Selain menjadi penyumbang terbesar ekspor dengan nilai sekitar 7 juta dolar AS, data BKPM menunjukkan subsektor fesyen menempati posisi kedua tertinggi dalam nilai investasi ekonomi kreatif, dengan total mencapai Rp9,43 triliun.
Direktur Fesyen menyampaikan komitmen Kementerian Ekraf/Badan Ekraf dalam membantu fasilitasi untuk akses pengurusan dan pendaftaran HAKI. Ia menjelaskan bahwa melalui program Bootcamp 1 ini, Kementerian Ekraf/Badan Ekraf juga dapat semakin menguatkan data jenama yang memerlukan fasilitasi HAKI.
“Kementerian Ekraf/Badan Ekraf melalui Direktorat Pengembangan Fasilitasi Kekayaan Intelektual dapat membantu prosesnya, sementara Direktorat Fesyen siap mendukung dari sisi penyediaan data jenamanya,” tambahnya.
Sepuluh jenama fesyen terkurasi yang mengikuti program ini memperoleh manfaat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan yang paling relevan bagi perkembangan usaha mereka. Batik Marunda, yayasan yang memberdayakan ibu-ibu relokasi di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, melalui produksi batik Betawi bercorak flora dan fauna khas pesisir, merasa kegiatan ini sangat membantunya dari segi penguatan bisnis dan nilai ekonomi produknya.
“Sebelumnya kami hanya fokus membina penghuni rusun mengembangkan desain, namun kurang memperhatikan dari aspek penjualan dan bisnis. Pelatihan dari Kementerian Ekraf/Badan Ekraf ini sangat menjawab kebutuhan kami untuk meningkatkan nilai jual produk agar meningkatkan perekonomian para ibu di rusun. Kami juga sangat terbantu dengan fasilitasi pendaftaran HKI, karena setelah dijelaskan, kami semakin memahami pentingnya memiliki merek yang terlindungi,” ujar Ketua Yayasan Batik Marunda, Irmanita.
Sementara itu, Eti Yuniarti, pemilik PT Schon Craft Indonesia, merasa sesi mentoring keuangan memberi pemahaman baru yang sangat praktis, terutama dalam menentukan harga produk. Ia mempelajari bahwa penetapan harga bukan hanya soal biaya produksi, tetapi juga harus memperhitungkan segmentasi pasar, tingkat kerumitan teknik pembuatan, dan kualitas hasil karya agar nilai jualnya tepat.
“Dari sesi mentoring aspek keuangan hari ini, kami jadi mengetahui bagaimana menentukan nilai jual sesuai dengan nilai dari karya buatan kami. Kami bisa lebih percaya diri untuk memasang harga yang sepadan dengan hasil yang kami kerjakan, tapi tetap dengan mempertimbangkan peluang kami di pasar. Harapannya karya kami bisa semakin dihargai, di dalam maupun luar negeri,” ujar Etik Nuryani.
Selain aspek keuangan, beberapa peserta juga merasa penguatan karakter brand menjadi manfaat utama yang mereka dapatkan. Jumirah, salah satu peserta yang juga pemilik jenama fesyen pakaian Mierto menilai pendampingan ini membantunya menemukan ciri khas yang lebih tajam tanpa meninggalkan identitas yang sudah dibangun sejak awal.
“Selama ini kami memproduksi pakaian batik dengan pola pada umumnya, dan kami sempat bingung ke mana arahnya brand kami ini, ciri khasnya yang paling menarik apa. Di sini kami mendapat banyak sekali insight dan diminta langsung praktik untuk meng-upgrade brand DNA kami, tapi tetap mempertahankan identitas Mierto sebelumnya,” ujar Jumirah.*(sumber:ekraf.go.id)




















